Dear Kekasih,
Ini adalah hari yang baik.
Hari yang baik adalah hari yang membuatmu banyak mengingat: apa yang telah membawamu sampai ke sini. Apakah untaian kejadian yang silih berganti? Mungkin rangkaian perasaan yang datang berkunjung? Atau malah handai taulan yang punya peran?
Hmm.. mari kita berandai-andai.
Kamu ada di sebuah jalan di kota yang asing, berdiri sendiri. Di kiri dan kanannya banyak gedung tua yang mungkin terasa menyeramkan untukmu. Angin mulai berhembus perlahan, semestinya udara terasa dingin sebentar lagi. Saat itu senja dan gelap mulai menyelimuti langit. Tujuanmu hanya satu: bagaimana kamu bisa jalan terus sampai ke tempat yang kamu mau di ujung sana. Tidak bisa tidak, kau pun harus membulatkan tekad dan mau mulai melangkah.
(Omong-omong, aku ingat betul bagaimana laku langkahmu. Kecil namun cepat!)
Kamu pun akhirnya melaju. Tapi pandanganmu menunduk. Ada keraguan dalam hatimu. Ini tempat yang tidak kau kenal. Jalan ini mungkin tidak ada akhirnya; bangunannya mungkin mampu menelanmu; dan orang-orang yang sedari tadi lalu lalang mungkin saja melukaimu! Pikiranmu makin kalut dan langkahmu pun kian memelan.
Yang kamu tuju terasa semakin jauh.
Rasanya terlalu melelahkan untuk ke sana, pikirmu. Perlahan ada yang terasa tertahan di kelopak, sepertinya itu air matamu. Terus-menerus menahannya malah jadi memberatkan langkahmu dan mengaburkan pandanganmu. Dua menit, tiga menit, dan kini di menit ke lima akhirnya meneteslah ia di pipimu. Kamu pun memutuskan untuk berhenti sejenak dan terisak sambil duduk di kursi trotoar. Sembari menyesali kenapa kamu memutuskan lewat di jalan ini, padahal mungkin ada jalan lain yang lebih baik. Ini adalah hari yang buruk untukmu.
Kamu membuka tasmu dan mengambil sapu tangan pemberian orangtuamu untuk menghapus air mata.
Entah kenapa, sapu tangan itu membawa perasaan yang amat familiar. Setiap elusannya dipipimu sedikit demi sedikit mengingatkanmu akan hangatnya peluk ibumu; betapa ia terasa menenangkan. Aromanya tak sengaja tersesap olehmu. Wanginya tak berubah sama sekali. Tegas namun terasa lembut; persis seperti senyum ayahmu. Dalam hati kamu tersenyum kecil, senang karena merasa beruntung betul membawa sang sapu tangan. Rupanya ia membawa secercah hangatnya rumah, batinmu.
Jalan ini asing, namun kamu mulai merasa tak sendiri.
Kamu pun memutuskan untuk melanjutkan berjalan lagi. Angin berhembus semakin kencang seperti mencoba melambatkan langkahmu. Kamu melihat seorang dua orang mulai menggigil. Baru dua puluh empat langkah, kamu tersadar tubuhmu tidak merasa dingin sama sekali. Pantas saja, ternyata tubuhmu terbalut jaket berwarna marun yang dipinjamkan kekasihmu (baca: aku)! Jaketnya amat menghangatkan, pun melindungi dari terpaan angin yang kadang menusuk ini. Padahal ia sedang tak ada disampingmu, ribuan kilometer jaraknya. Kamu pun memegang erat jaket itu sambil tersenyum mengingat kekasihmu. Mungkin jaketnya ia beri jampi-jampi pelindung, batinmu. Kamu lalu tertawa kecil.
Jalan ini masih asing, namun kamu semakin merasa tak sendiri.
Pandanganmu kini tegak kedepan, langkahmu kini semakin tegap. Kini ada semangat yang muncul dari hal-hal yang baru saja kau sadari! Ujung jalan kini mulai terlihat, tujuanmu jadi semakin dekat. Akan tetapi, langit yang semula kuning temaram pun berganti hitam kelam. Kegelapan mulai menerpa dan bangunan-bangunan tua di sekelilingmu jadi terasa menyeramkan. Rasa takut mulai menjalar dipikiranmu, mencoba menahan yang tekadmu yang mulai menggebu. Tujuanmu jadi tak terlihat, langkahmu jadi tak menentu. Yang kamu lihat dan yang kamu pijak jadi terasa semu.
Beruntungnya, lampu kota mendadak menyala terang dan menunjukkan jalan jelas ke tujuanmu.
Terkadang bantuan bisa muncul dari tempat yang tak diduga! Langkahmu pun jadi semakin terukur. Dugaanmu, kini tinggal dua ratus delapan puluh satu langkah lagi menuju tujuan. Dekat dan semakin mendekat seiring detik demi detik. Setiap pijakan kakimu kini terasa ringan. Ini pasti kehendak semesta, batinmu.
Jalan itu tetap asing namun kamu tinggal selangkah dua langkah lagi untuk sampai.
Dear Kekasih,
Bisa jadi ada hal melelahkan yang kamu temui di perjalanan hidupmu. Bisa jadi ada perasaan buruk yang kadang menghampiri hati kamu. Bisa jadi ada ketidakpastian yang kadang menghantui kamu. Bisa jadi ada keputusan yang mungkin tidak sesuai dengan ekspektasi kamu. Wajar kalau kadang itu semua membuat kamu merasa hari yang kamu jalani adalah hari yang buruk.
Bagian awal dari menjadi dewasa adalah menyadari sepenuhnya bahwa segala hal bisa terjadi. Bagian selanjutnya adalah memanfaatkan sepenuhnya kemampuan yang kamu punya untuk menghadapinya. Entah itu baik atau buruk, selalu siap untuk bersyukur atau berjuang. Aku (baca: kekasihmu) yakin kamu selalu punya kemampuan itu. Dan aku selalu siap mendampingi kamu di hari apapun itu.
Hari ini adalah hari yang baik.
Karena untaian kejadian yang silih berganti, rangkaian perasaan yang datang berkunjung, dan handai taulan yang punya peran telah membawamu sampai ke sisa selangkah dua langkah.
Dan kamu sendiri yang menggenapinya.
Sangasanga, 2 November 2019
Pandu Wicaksono
P.S:
Ada yang bertambah hari ini. Usia kamu.
Ada doa yang terucap hari ini. Dari aku.