#22 Hari Yang Baik

#22 Hari Yang Baik

Dear Kekasih,

Ini adalah hari yang baik.

Hari yang baik adalah hari yang membuatmu banyak mengingat: apa yang telah membawamu sampai ke sini. Apakah untaian kejadian yang silih berganti? Mungkin rangkaian perasaan yang datang berkunjung? Atau malah handai taulan yang punya peran?

Hmm.. mari kita berandai-andai.


Kamu ada di sebuah jalan di kota yang asing, berdiri sendiri. Di kiri dan kanannya banyak gedung tua yang mungkin terasa menyeramkan untukmu. Angin mulai berhembus perlahan, semestinya udara terasa dingin sebentar lagi. Saat itu senja dan gelap mulai menyelimuti langit. Tujuanmu hanya satu: bagaimana kamu bisa jalan terus sampai ke tempat yang kamu mau di ujung sana. Tidak bisa tidak, kau pun harus membulatkan tekad dan mau mulai melangkah.

(Omong-omong, aku ingat betul bagaimana laku langkahmu. Kecil namun cepat!)

Kamu pun akhirnya melaju. Tapi pandanganmu menunduk. Ada keraguan dalam hatimu. Ini tempat yang tidak kau kenal. Jalan ini mungkin tidak ada akhirnya; bangunannya mungkin mampu menelanmu; dan orang-orang yang sedari tadi lalu lalang mungkin saja melukaimu! Pikiranmu makin kalut dan langkahmu pun kian memelan.

Yang kamu tuju terasa semakin jauh.

Rasanya terlalu melelahkan untuk ke sana, pikirmu. Perlahan ada yang terasa tertahan di kelopak, sepertinya itu air matamu. Terus-menerus menahannya malah jadi memberatkan langkahmu dan mengaburkan pandanganmu. Dua menit, tiga menit, dan kini di menit ke lima akhirnya meneteslah ia di pipimu. Kamu pun memutuskan untuk berhenti sejenak dan terisak sambil duduk di kursi trotoar. Sembari menyesali kenapa kamu memutuskan lewat di jalan ini, padahal mungkin ada jalan lain yang lebih baik. Ini adalah hari yang buruk untukmu.

Kamu membuka tasmu dan mengambil sapu tangan pemberian orangtuamu untuk menghapus air mata.

Entah kenapa, sapu tangan itu membawa perasaan yang amat familiar. Setiap elusannya dipipimu sedikit demi sedikit mengingatkanmu akan hangatnya peluk ibumu; betapa ia terasa menenangkan. Aromanya tak sengaja tersesap olehmu. Wanginya tak berubah sama sekali. Tegas namun terasa lembut; persis seperti senyum ayahmu. Dalam hati kamu tersenyum kecil, senang karena merasa beruntung betul membawa sang sapu tangan. Rupanya ia membawa secercah hangatnya rumah, batinmu.

Jalan ini asing, namun kamu mulai merasa tak sendiri.

Kamu pun memutuskan untuk melanjutkan berjalan lagi. Angin berhembus semakin kencang seperti mencoba melambatkan langkahmu. Kamu melihat seorang dua orang mulai menggigil. Baru dua puluh empat langkah, kamu tersadar tubuhmu tidak merasa dingin sama sekali. Pantas saja, ternyata tubuhmu terbalut jaket berwarna marun yang dipinjamkan kekasihmu (baca: aku)! Jaketnya amat menghangatkan, pun melindungi dari terpaan angin yang kadang menusuk ini. Padahal ia sedang tak ada disampingmu, ribuan kilometer jaraknya. Kamu pun memegang erat jaket itu sambil tersenyum mengingat kekasihmu. Mungkin jaketnya ia beri jampi-jampi pelindung, batinmu. Kamu lalu tertawa kecil.

Jalan ini masih asing, namun kamu semakin merasa tak sendiri.

Pandanganmu kini tegak kedepan, langkahmu kini semakin tegap. Kini ada semangat yang muncul dari hal-hal yang baru saja kau sadari! Ujung jalan kini mulai terlihat, tujuanmu jadi semakin dekat. Akan tetapi, langit yang semula kuning temaram pun berganti hitam kelam. Kegelapan mulai menerpa dan bangunan-bangunan tua di sekelilingmu jadi terasa menyeramkan. Rasa takut mulai menjalar dipikiranmu, mencoba menahan yang tekadmu yang mulai menggebu. Tujuanmu jadi tak terlihat, langkahmu jadi tak menentu. Yang kamu lihat dan yang kamu pijak jadi terasa semu.

Beruntungnya, lampu kota mendadak menyala terang dan menunjukkan jalan jelas ke tujuanmu.

Terkadang bantuan bisa muncul dari tempat yang tak diduga! Langkahmu pun jadi semakin terukur. Dugaanmu, kini tinggal dua ratus delapan puluh satu langkah lagi menuju tujuan. Dekat dan semakin mendekat seiring detik demi detik. Setiap pijakan kakimu kini terasa ringan. Ini pasti kehendak semesta, batinmu.

Jalan itu tetap asing namun kamu tinggal selangkah dua langkah lagi untuk sampai.


Dear Kekasih,

Bisa jadi ada hal melelahkan yang kamu temui di perjalanan hidupmu. Bisa jadi ada perasaan buruk yang kadang menghampiri hati kamu. Bisa jadi ada ketidakpastian yang kadang menghantui kamu. Bisa jadi ada keputusan yang mungkin tidak sesuai dengan ekspektasi kamu. Wajar kalau kadang itu semua membuat kamu merasa hari yang kamu jalani adalah hari yang buruk.

Bagian awal dari menjadi dewasa adalah menyadari sepenuhnya bahwa segala hal bisa terjadi. Bagian selanjutnya adalah memanfaatkan sepenuhnya kemampuan yang kamu punya untuk menghadapinya. Entah itu baik atau buruk, selalu siap untuk bersyukur atau berjuang. Aku (baca: kekasihmu) yakin kamu selalu punya kemampuan itu. Dan aku selalu siap mendampingi kamu di hari apapun itu.

Hari ini adalah hari yang baik.

Karena untaian kejadian yang silih berganti, rangkaian perasaan yang datang berkunjung, dan handai taulan yang punya peran telah membawamu sampai ke sisa selangkah dua langkah.

Dan kamu sendiri yang menggenapinya.

Sangasanga, 2 November 2019

Pandu Wicaksono

P.S:

Ada yang bertambah hari ini. Usia kamu.

Ada doa yang terucap hari ini. Dari aku.

#21 Bolehkah Aku Ungkapkan Sesuatu?

#21 Bolehkah Aku Ungkapkan Sesuatu?

Ini adalah sebuah pengakuan.

Untuk kamu.

Perkenalkan, ini aku yang dulu. Aku yang acap kali ditampar salah prasangka, terlampau cepat dan putuslah asa. Aku yang mungkin terburu-buru, banyak berharap tapi tak berucap.

Di Maret yang tak terduga itu aku bertemu kamu. Dipertemukan, tepatnya. Ada bisik-bisik yang bilang kalau harusnya kita dipertemukan sedari dulu. Tapi aku begini, kamu begitu. Aku begitu, kamu begini. Mungkin Tuhan memang sengaja menunda. Supaya kita bersua membawa hati yang terbuka.

Pada mulanya siapa yang mengira kalau pertemuan yang tak kunjung tiba nyatanya membawa rasaku menuju kamu. Ada desir kecil yang bersaran agar aku coba mengintip ke masa depan dengan kamu. Melihat kemana kita akan berlabuh. Melihat apa yang akan kuraih bersamamu. Bisakah bahagia?

Bisa, jawabku. Ada sesuatu yang besar untuk masa depan kita.

Lucunya aku tak tahu apa itu, tapi saat bersamamu aku jadi tak sepenasaran itu. Hilang gelisahku saat bersama kamu. Aku lebih suka menatapmu di masa ini, mendengar tawa dan celotehmu. Aku ingin terus ada di sebelahmu, menembus ruang yang tak jarang ada di antara kita. Biarlah masa depan itu datang sendiri, pikirku. Toh separuhnya sudah disini menggenggam tanganku.

Memperoleh kesempatan untuk mencintaimu adalah sebuah berkah. Memiliki jalan untuk tetap mencintaimu adalah sebuah amanah. Merasakan indahnya dicintai kamu adalah sebuah anugerah.

Perkenalkan, ini aku yang kini. Aku yang sudah belajar bahwa waktu dan jarak adalah sesuatu yang semu tatkala kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati. Aku yang kini tahu bahwa bicara adalah cara terbaik untuk mengungkap rasa. Aku yang jadi mengerti bahwa mengasihi tak melulu bicara soal menerima, tapi juga memberi.

Terimakasih, kekasihku.

 

Jakarta, 17 April 2018

Pandu Wicaksono

 

P.S. :

Sebelum aku lupa, bolehkah aku mengagumimu sejenak?

Senyummu adalah hal termanis yang pernah aku saksikan.

Ide-ide cemerlangmu adalah hal yang melengkapi pikiranku.

Tutur katamu adalah penyejuk, penenang di kala sesak.

Kamu adalah Sang Anindyaguna, sosok cantik yang membawa kebaikan.

Aku yakin Tuhan berikan kamu padaku agar aku makin percaya mukjizat itu ada.

#20 Gelisah Menanti

#20 Gelisah Menanti

Bolak-balik ia memegang handphonenya. Tapi tak dibuka.

Kemudian dilempar. Diambil lagi.

Tak lama dilempar lagi. Begitu terus.

Ia sedang gelisah.

Pesan yang ia kirim pada sang pujaan hati tak kunjung dibalas.

“Mungkin ia sedang sibuk.”

“Mungkin HP-nya ditinggal pergi.”

Jam demi jam berlalu. Berganti hari.

Masih tak ada jawaban.

Masih gelisah.

Putus asa melawan ketidakpastian, dicarilah pengalihan.

Dibukalah Instagram, dicermati isi linimasa satu-satu.

Sampai kemudian terhenyak.

Ada unggahan dari sang pujaan hati.

Satu. Dua. Tiga.

“Kenapa bisa dia punya waktu untuk ini?”

“Tapi pesanku tak dibalas.”

Tega.

Kejadian diatas, pernah saya alami. Anda mungkin pernah mengalaminya juga. Dan jadi terasa lebih pahit saat anda kemudian buka kembali pesan terakhir yang anda kirim via aplikasi chatting.

Rupanya sudah dibaca. Tapi cuma dibaca.

Generasi kita memang generasi patah hati. Punya lebih banyak cara dibuat patah hati, maksudnya. Kiriman pesan yang hanya dibaca pun bisa patah hati. Maklum, sudah keburu punya ekspektasi tinggi.

Teknologi yang makin maju, bikin pertukaran informasi jadi makin mudah. Makin cepat dan makin lancar pertukaran informasi antara dua insan, makin tidak siap kita saat harus terhenti tiba-tiba. Apalagi tanpa alasan yang jelas. Masalahnya: kita jadi tahu manakala kita diabaikan, detik itu juga.

Siapa yang lalu tak jadi gelisah.

“Saya ini salah apa. Kenapa kamu tak balas pesan saya. Padahal terakhir tadi masih tertawa bersama. Apa saya menyakiti perasaan kamu? Apa saya sudah jadi orang membosankan? Atau kamu memang tak tertarik sama saya?”

… dan sejuta tanya lainnya dalam kepala. Yang mungkin tak pernah ketemu jawabnya. Karena gengsi kalau mau ditanyakan. Takut dikira posesif. Nanti malah makin menjauh pula.

Tapi saya paham, kok. Hidup di kubangan ekspektasi orang memang sulit. Harus pandai-pandai memilih yang mana yang mesti dipenuhi. Salah-salah nanti ada yang patah hati. Tapi kenapa kamu memilih untuk tidak memenuhi ekspektasi saya?

Hush, dasar egois kamu.

Eh, saya.

#19 Berdamai Dengan Ekspektasi

#19 Berdamai Dengan Ekspektasi

Saya pernah cerita di post ini kalau sekarang saya sedang rutin bolak-balik ke Pangalengan naik motor. Perlengkapan berkendara lengkap, kondisi motor baik, dan semaksimal mungkin saya berupaya untuk mengemudi dengan baik dan benar. Teorinya, perjalanan saya akan berlangsung dengan aman dan nyaman. Tidak akan terjadi hal-hal yang akan membahayakan diri saya dan orang lain.

Fakta berkata lain.

Sekitar dua bulan lalu, awal bulan puasa, saya kecelakaan. Tulang bahu kanan saya patah dan saya terpaksa harus beristirahat di rumah selama kurang lebih sebulan. Penyebabnya? Karena saya menabrak motor di depan yang tiba-tiba standing alias wheelie. Saya yang kaget tidak sempat menghindar dan akhirnya benturan tidak bisa dihindari. Alhamdulillah, pengendara motor depan tidak mengalami luka apapun dan masalah bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Sayanya sendiri: selain patah tulang ya motornya ada beberapa bagian yang hancur karena terbanting, sih. Tapi yo wes lah.

standing
Kurang lebih seperti ini lah yang saya hadapi tempo hari. 

Kalau dirunut, kejadiannya kurang lebih begini:

  1. Saya sedang berkendara di areal jalan kebun teh. Jalannya sih bagus, dibeton.
  2. Di depan saya ada dua remaja sedang naik motor. Cowok bonceng cewek.
  3. Saya berekspektasi kalau sedang boncengan begitu mereka memang sedang jalan normal.
  4. Saya bersiap-siap menyusul mereka, dan mulai menaikkan kecepatan sedikit.
  5. Apa dinyana, tiba-tiba motor mereka standing. Kecepatan mereka otomatis berkurang drastis.
  6. Karena jarak yang jadi tiba-tiba sangat dekat, saya tidak bisa menghindar. Tabrakan pun terjadi.

Ada hal penting yang saya pelajari dari kejadian ini. Ekspektasi saya salah dan saya kena batunya.

Saya yakin seyakin-yakinnya kalau orang pacaran nggak akan pernah berniat buat membahayakan pasangannya. Makanya saya berasumsi mereka nggak akan macem-macem di atas motor. Dan rupanya cara orang menyenangkan pacarnya beda-beda. Supaya dianggap romantis, diangkatlah roda depan motor oleh sang pria agar sang gadis bisa merasakan indahnya romansa kisah cinta masa muda. Bahwa cinta mereka akan makin membuncah manakala adrenalin tengah bergejolak. Sayangnya mereka juga berekspektasi bahwa di jalan itu hanya ada sang kekasih dan kendaraan cinta. Tiada yang bisa mengganggu dunia mereka berdua.

Padahal nyatanya di belakang ada mas-mas jomblo yang kelabakan menghadapi aksi kejutan pernyataan cinta mereka.

Ekspektasi memang jadi salah satu penyebab terjadinya banyak kecelakaan maupun kegelisahan. Salah mengira cara berkendara orang lain, ujung-ujungnya bisa tabrakan. Terlalu berharap pengertian pasangan atau gebetan, ujung-ujungnya galau. Penyebabnya sederhana: ekspektasi dipasang terlalu tinggi. Saat tidak tercapai ya jadinya kecewa. Itulah kenapa banyak yang menyarankan supaya kita harus pintar-pintar menaruh ekspektasi. Jangan terlalu tinggi biar tidak kecewa, jangan terlalu rendah supaya tidak terlalu cepat puas.

Supaya tidak terulang kembali kejadian-kejadian tidak enak itu, ada dua cara yang bisa dilakukan.

Pertama, belajarlah menaruh ekspektasi yang terukur.

Bagaimana caranya supaya bisa mengukur ekspektasi? Banyak-banyaklah membaca. Membaca bukan hanya sekadar membaca buku. Bacalah keadaan. Bacalah pengalaman. Pengetahuan dasar akan suatu isu sangat diperlukan agar kita bisa menaruh ekspektasi awal. Namun, terkadang kita merasa sudah mengetahui semua hal yang kita butuhkan dan kemudian langsung berintuisi. Saat itulah kita berada dalam sebuah ilusi, ilusi saya-tahu-segalanya. Celakanya, kita malah jadi luput memperhatikan tanda-tanda yang muncul. Keganjilan-keganjilan yang mestinya jadi sinyal agar kita segera melakukan penyesuaian atau melakukan tindakan pembetulan. Disinilah pentingnya agar kita terus awas, supaya kita tidak terbuai dengan ekspektasi dari intuisi. Intuisi yang bisa jadi terus menumpul karena tak kunjung diasah.

Sebuah percobaan menarik pernah dilakukan oleh Dan Simons dan Cristopher Cabris untuk menunjukkan betapa ilusi dari ekspektasi dan intuisi sungguh nyata adanya. Silahkan buka video dibawah dan beritahu hasilnya di kolom komentar blog saya, ya. Biar rame please… *memelas*

Kalau disambungkan dengan kejadian saya, saya mengakui bahwa saat itu saya belum pernah punya pengalaman berhadapan dengan orang yang romantisnya standing-standing mendadak begitu. Itulah kenapa intuisi saya memunculkan ekspektasi bahwa tidak masalah kalau motor depan saya salip. Ini aman, ini aman, rupanya kejadian. Pasca kejadian, sekarang saya jadi jauh lebih waspada saat bertemu remaja boncengan di sekitar area kejadian. Saban ada yang kayak begitu, bawaannya jadi ekstra hati-hati. Sebab saya belajar dari pengalaman sebelumnya, dan sekarang bisa mengatur ekspektasi dengan lebih baik demi keamanan saya.

Berdasarkan observasi pasca kejadian, ciri-ciri motor yang mau dipake standing adalah posisi duduknya penumpang  sangat ke belakang seperti yang lagi musuhan. Fungsinya adalah untuk mengungkit motor agar roda depan bisa terangkat, bukan mengungkit masa lalu. Itu lah makanya bagi yang pacarnya sedang marah dan saat dibonceng duduknya jauh kebelakang, waspadalah. Mana tau tiba-tiba pacar anda beraksi dan motor anda jadi standing. Kasian mas-mas jomblo yang naik motor di belakang anda.

Kedua, bersedialah untuk melakukan usaha lebih demi mencapai ekspektasi yang diharapkan.

Presiden pertama kita pernah memberikan nasihat yang sangat quoteable dan captionable:

“Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.” – Ir. Soekarno

Sebuah nasihat yang sangat indah. Yang bila dimaknai secara amat dangkal oleh kaum pemalas terasa sangat menyejukkan. Cukup lah kita hanya bermimpi tinggi tanpa usaha, ujung-ujungnya tetap dapat hasil lumayan juga.

Lho ya nggak bisa kayak gitu. Ra iso koyok ngono. Life doesn’t work that way.

Tidak ada seorangpun motivator di dunia ini yang pernah bilang bahwa cukup ongkang-ongkang kaki untuk mewujudkan impian kita. Semua harus diraih dengan usaha, yang tentu tingkatnya bersesuaian dengan seberapa tingginya impian kita. Jika kita sudah menaruh ekspektasi, bersiaplah untuk ikut melakukan tindakan. Sekalipun sumber pemenuhan ekspektasi anda adalah orang lain. Ya, meskipun orang lain.

Kembali pada kejadian saya untuk contoh.  Saya menaruh ekspektasi pada pengendara motor di depan saya bahwa mereka akan berkendara dengan baik dan benar sehingga saya akan selamat, karena saya sudah mengemudi dengan baik dan benar. Itulah kenapa saya kemudian berani untuk menyusul mereka. Seandainya saya sudah tahu akan ciri-ciri pengendara yang berbahaya tersebut, saya akan mengurungkan niat saya untuk menyusul dan kemudian melakukan usaha untuk menjaga keamanan saya. Salah satunya dengan mengurangi kecepatan dan menjaga jarak. Dengan demikian, saat pengendara depan menghancurkan ekspektasi saya pun (dengan cara standing) saya tetap akan aman.

Pun dalam kehidupan sehari-hari seperti itu. Mau menikah, carilah pasangan. Mau jadi kaya, berusahalah. Mau sehat, aturlah pola makan dan olahraga. Mau banyak teman, ramahlah pada semua. Semua terjadi karena hubungan sebab-akibat dan timbal balik. Tidak bisa tidak, semua harus dicapai dengan pengorbanan dalam bentuk effort. Disinilah sebetulnya kuasa kita harus bermain, saat berekspektasi ingin punya kehidupan yang seperti apa. Mau itu tingkat ekonomi seperti apa, punya teman sebanyak apa, dan apa-apa yang lain. Saat ekspektasi yang terukur sudah tertanam, nyalakan semangat untuk berjuang meraihnya.  Pacu terus hingga semua impian tercapai. Janganlah pula tetapkan ekspektasi yang kerendahan, supaya kita tidak cepat puas. Jadilah seorang over-achiever, lampaui batas-batas diri kita. Karena hidup adalah soal mendobrak batas diri.

P.S.: Terkecuali dalam hal mencari pasangan, janganlah jadi over-achiever. Bila diekspektasikan punya satu, ya sudah cukup satu saja.

 

#18 Ada Apa Dengan Arcandra : 20 Hari Untuk Selamanya

#18 Ada Apa Dengan Arcandra : 20 Hari Untuk Selamanya

“Saya tuh orang Padang asli, istri saya juga orang Padang asli, lahir dan besar di Padang. Cuma pas kuliah S-2 dan S-3 saya kuliah di Amerika,” ujar Arcandra.

Pernyataan di atas keluar dari mulut Pak Arcandra Tahar (AT) beberapa hari lalu, saat itu masih Menteri ESDM, tatkala dimintai konfirmasi oleh wartawan terkait status kewarganegaraannya beberapa hari yang lalu. Sebuah jawaban yang abu-abu, tidak memberikan kepastian, sangat diplomatis. Masyarakat yang menaruh harapan besar padanya pun masih dibuai angin segar, sang profesional tidak akan kemana-mana. Bagaimana mungkin orang sehebat dia akan dilepas, apalagi belum genap sebulan menjabat. Kiprahnya di Indonesia baru akan dimulai. Beliau pulang untuk membangun negeri.

Dan kabar menghentak pun datang pada Senin malam (15 Agustus 2016). Presiden Joko Widodo memberhentikan secara terhormat sang profesional, dalam sebuah konferensi pers lewat juru bicaranya. Alasan utamanya tentu ihwal polemik kewarganegaraan sang menteri: Indonesia atau Amerika? Sontak kita semua terkejut. Negara ini punya rekor baru: menteri dengan masa jabatan tercepat. Hanya 20 hari semenjak dilantik. Mengalahkan rekor sebelumnya milik Pak Mahfud MD (21 hari) di masa pemerintahan Presiden Gus Dur.

Semua pun berspekulasi, apa yang bikin bisa-bisanya kesalahan seperti ini terjadi. Pak Presiden tentu jadi pihak yang paling dipertanyakan, mengingat beliaulah yang meminta secara langsung Pak AT untuk menjadi Menteri ESDM. Pandangan-pandangan nyinyir pun mulai bermunculan, tentang betapa kecolongannya RI-1. Ini kesalahan yang terlalu mendasar dan tak pantas dilakukan seorang pemimpin negara, katanya. Pun muncul pula berbagai teori tentang adanya skenario di balik kejadian ini. Bagaimana pelengseran ini adalah imbas dari panasnya perebutan kedigdayaan potensi energi di Indonesia. Bagaimana ada pihak yang ingin untuk menjatuhkan wibawa dan kuasa Pak Presiden melalui jebakan berupa blunder tingkat istana. Dan aneka teori lainnya yang mungkin akan bermekaran di kemudian hari.

Entahlah, saya cuma warga biasa yang saat ini angkat tangan kalau ada yang mulai bahas soal teori konspirasi karena belum punya power untuk melakukan konfirmasi. Kecuali ada sumber informasi dan data yang valid, saya siap bermain detektif. Tapi itu lain soal.

Saya lebih tertarik akan suatu hal. Adakah legacy yang ditinggalkan mantan Menteri ESDM kita dari masa jabatannya yang sangat singkat ini? Sudah sempat melakukan sesuatukah Pak AT dalam 20 hari ini? Saya coba telusuri lewat portal-portal berita online dan situs resmi Kementerian ESDM terkait kinerja serta kegiatan beliau, dan hasilnya saya rangkum disini. Mungkin memang dirasa tidak banyak, bisa karena tidak diliput oleh media, atau bisa pula karena memang belum banyak geraknya akibat waktu yang kelewat singkat. Selamat menghayati.

1. Diskusi dengan pihak kontraktor industri hulu migas

Sekitar seminggu setelah pelantikannya, 4 Agustus 2016, Pak AT menggelar pertemuan secara bergantian dengan sejumlah pimpinan dari kontraktor migas yang beroperasi di Indonesia. Dalam pertemuan tersebut dinyatakan keinginan agar para kontraktor migas secepatnya menyelesaikan proyek-proyek hulu (upstream), sebagaimana dikonfirmasi oleh pihak Exxon Mobil yang ikut menghadiri pertemuan tersebut. Selain Exxon Mobil, hadir juga pimpinan dari Chevron Pacific Indonesia dan Pertamina. Beberapa contoh proyek upstream yang disinggung adalah Blok East Natuna, Masela, Jambaran-Tiung Biru, dan Indonesia Deepwater Development (IDD). Terkait proyek di Natuna sendiri, produksi masih belum berlangsung hingga saat ini sekalipun proses eksplorasi di blok itu sudah dilakukan sejak 1973. Eksploitasi aset di Blok East Natuna sendiri menjadi isu yang krusial mengingat blok tersebut termasuk zona perbatasan negara di Laut Cina Selatan yang rawan konflik.

2. Diskusi dengan kontraktor pengelola Blok Masela

Esoknya, 5 Agustus 2016, Pak AT menerima kunjungan dari Inpex Corporation. Inpex Corporation merupakan perusahaan asal Jepang yang menjadi kontraktor pengelola Blok Masela. Pembahasan mengenai pengembangan Blok Masela dari sisi teknikal dan komersial menjadi salah satu agenda yang dibicarakan. Proyek pengelolaan blok Masela baru saja mulai dikerjakan oleh Inpex, dimana pemerintah memutuskan untuk membangun kilang LNG di darat (onshore). Pak AT sendiri menyampaikan harapan bahwa Blok Masela bisa mulai berproduksi pada 2024. Pertemuan itu juga membuahkan temuan akan adanya penurunan yang cukup signifikan dari investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan onshore. Sumber anonim yang dikutip oleh seword.com dalam salah satu artikelnya menyatakan bahwa dari anggaran pengembangan yang awalnya sebesar 22 milyar dolar US, dapat dikoreksi oleh Pak AT menjadi hanya 15 milyar dolar US. SKK Migas sendiri sebagai pengelola kegiatan usaha hulu migas di Indonesia mengaku belum memiliki perhitungan harga yang akurat terkait nilai investasi untuk pembangunan kilang baik onshore maupun offshore.

3. Usulan pengembangan proyek yang sudah/akan berjalan

Pak AT bertemu dengan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan untuk membahas mengenai potensi migas di wilayah Natuna pada 9 Agustus 2016. Beliau melaporkan pula perkembangan terminal gas alam cair (LNG) di Benoa saat pertemuan tersebut berlangsung. Menteri ESDM dari kabinet sebelumnya, Sudirman Said, telah memastikan kesiapan operasional dari terminal ini pada bulan April 2016. Terminal LNG Benoa merupakan infrastruktur yang dibangun untuk mendukung proses penyaluran LNG ke PLTG Pesanggaran di Denpasar Selatan, sebagai salah satu bagian dai proyek regasifikasi Bali. Keberhasilan pengoperasian dari Terminal Benoa akan memberikan efisiensi sebesar 4 milyar rupiah setiap harinya untuk penggunaan bahan bakar pada proses pembangkitan listrik di Bali. Kesuksesan tersebut juga akan mendorong dilakukannya pembangunan terminal baru di Pelabuhan Celukan Bawang.

4. Usulan revisi UU dan PP

Pada 11 Agustus 2016, Pak AT menerima sejumlah pelaku usaha migas yang tergabung dalam Indonesian Petroleum Association (IPA), dan mendengarkan masukan untuk revisi PP 79 tahun 2010. Revisi PP tersebut juga sebelumnya telah diusulkan oleh Komite Eksplorasi Nasional (KEN). PP 79 tahun 2010 merupakan kebijakan yang diterbitkan untuk mengatur biaya penggantian operasi (cost recovery) dan pajak penghasilan di bidang usaha hulu migas. Salah satu poin yang akan dikaji oleh Pak AT terkait usulan tersebut adalah mengenai pembebasan pajak selama masa eksplorasi. Dengan revisi ini, beberapa pajak di sektor migas akan dihapuskan, dimana diharapkan segala aturan yang bersifat kontraproduktif akan hilang dan dapat memperbaiki iklim investasi untuk peningkatan produksi migas di masa mendatang. Cara penghitungan cost recovery juga akan diubah. Pada kesempatan sebelumnya, Pak AT juga menekankan perlunya revisi UU Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 tahun 2001. Revisi tersebut layak untuk mulai dikaji mengingat adanya perbedaan tantangan yang dihadapi sekarang dengan kondisi dan asumsi yang dipakai sewaktu UU tersebut pertama disusun.

5. Urusan dengan PT. Freeport Indonesia

Bersamaan dengan perkenalan dua staf khusus di bidang energi pada 29 Juli 2016, Pak AT mengumumkan bahwa pemerintah akan segera memberikan kepastian hukum kepada PT. Freeport Indonesia. PT. Freeport Indonesia yang akhir tahun lalu menjadi buah bibir akibat kasus “Papa Minta Saham” yang melibatkan politikus Setya Novanto dan pengusaha Riza Chalid (yang keberadaannya hingga hari ini masih belum diketahui) memang sangat membutuhkan kepastian, sebelum mulai menggelontorkan investasi tambahan untuk kegiatan operasionalnya di bumi Papua. Permohonan Freeport untuk melakukan perpanjangan kontrak hingga 2041 ini sendiri secara regulasi belum bisa dilakukan saat ini, dimana pembahasan baru bisa dilakukan pada tahun 2019. Dampak dari belum disepakatinya perpanjangan kontrak tersebut adalah tertundanya rencana pembangunan smelter di Gresik serta proses divestasi saham milik Freeport. Terkait jaminan kepastian hukum yang diberikan pemerintah, Pak AT sendiri menjanjikan akan berusaha sekuat tenaga dengan tetap berpedoman pada aturan yang berlaku. Sekitar dua minggu kemudian, 10 Agustus 2016, Kementerian ESDM melayangkan surat persetujuan ekspor konsentrat untuk PT. Freeport Indonesia kepada Kementerian Perdagangan. Izin ekspor ini berlaku selama lima bulan hingga 11 Januari 2017.

Mengharapkan terjadinya perubahan secara drastis di bidang energi dalam tempo 20 hari tentu merupakan sebuah kemustahilan. Proyek 35.000 MW yang digadang-gadang sebagai sebuah misi besar untuk mendukung kemajuan Indonesia memerlukan seorang sosok yang profesional dan sanggup menghalau masuknya pihak-pihak yang ingin meraup keuntungan pribadi. Pak AT sebagai seorang profesional yang memiliki kompetensi dan prestasi yang luar biasa tentulah sudah menyusun master plan untuk pengembangan bidang keenergian di Indonesia, sesuai dengan visi yang dicita-citakan Presiden Jokowi. Apa daya, beliau layu sebelum berkembang. Semoga semua hasil kerjanya selama 20 hari ini, yang terlihat maupun tidak, dapat menjadi fondasi bagi Menteri ESDM selanjutnya untuk semakin mendekatkan Indonesia pada kemandirian energi. Dan semoga kejadian ini dapat menjadi pelajaran bagi siapapun yang perlu belajar.

Terimakasih, Pak Arcandra Tahar.

Tetaplah berkarya untuk bangsa.

Bandung, 16 Agustus 2016

Dari berbagai sumber.

#17 Sebuah Puisi: Cinta Mati

#17 Sebuah Puisi: Cinta Mati

CINTA MATI

Ceritakan padanya kisah
Jasadnya seorang lelaki
Yang mati tenggelam
Pada air mata kekasihnya!

Rautnya beku berair pilu
Bekas memelas pada sang gadis
Mintakan barang sekejap ketenangan;
Telapak kakinya betapa kasar
Sisa diseret penuh paksa
Atas nama nyatanya ego;
Bola matanya hilang
Rusak dikoyak cabik kenaifan
Cinta itu mestilah buta;
Hilang pula hatinya
Ada bekas gerogotan perlahan
Pun jahitan dari patah berulang.

Di saku celananya yang kedodoran
Secarik catatan kumal ditemukan:
“Kebumikan aku pada gelapnya mata kekasihku.”

Dan kami lakukan
Lalu kembali pada hidup yang biasa.

Bandung, 11 Agustus 2016

#16 Sebuah Puisi: Mana Saya Tahu

#16 Sebuah Puisi: Mana Saya Tahu

Mana Saya Tahu

 

Kalau kamu lebih suka

Disapa tanpa basa-basi

Mana saya tahu

 

Kalau kamu amat takut

Kala gemparnya petir malam

Mana saya tahu

 

Kalau kamu pernah punya

Kisah kasih nan kesah

Mana saya tahu

 

Kalau kamu rindu bertatap

Pada riuhnya debur ombak

Mana saya tahu

 

Kalau kamu jadi kelu

Saat harus bertutur marah

Mana saya tahu

 

Kalau kamu dulu kehilangan

Hari bahagia karena terlupa

Mana saya tahu

 

Kalau kamu berubah benci

Bila dipuji manis

Mana saya tahu

 

Saya cuma tahu

Saya tidak tahu

Saya mau tahu

 

Bisa kah?

 

Bandung, 4 Agustus 2016

#15 Sebuah Puisi: Sajak Kaus Kaki Bolong

#15 Sebuah Puisi: Sajak Kaus Kaki Bolong

SAJAK KAUS KAKI BOLONG

 

Padahal aku sudah bilang

Bapakmu sudah bilang

Ibumu sudah pula bilang

 

Sudah aku jangan dipakai lagi.

 

Masaku diganti sudah lewat

Seribu hari kalau tak salah ingat

Kakimu jadi banyak luka

Kamu malah tertawa

Bilang itu bikin tambah kuat

 

Aku cuma kaus kaki

Dibikin buat diinjak-injak

Aku dulu bagus pun percuma

Masih tetap diinjak-injak

Sudah bolong begini kamu masih pakai

Apa memang kamu suka menginjak-injak?

 

Kalau aku jadi orang

Kamu jadi kaus kaki bolong

Sama bingungnya kah kamu denganku?

 

Bandung, 29 Juli 2016

#14 Sebuah Prosa: Kemana Kartu Pos

Taman-mailbox-Rumah-kotak-pos

KEMANA KARTU POS

Masih belum tiba.

Menatap kosongnya kotak merah itu lalu menghela nafas panjang kini jadi caraku tiap memulai hari. Dinginnya udara pagi mengebaskan wajah, membekukan raut kecewa karena hari ini terlalu berharap. Kututup perlahan si kotak pos. Atau setengah dibanting, aku lupa. Yang kuingat cuma secuil gumaman pelan, “Esok pasti tiba. Pasti.”.

Ekspektasi itu candu.

Garis wajahmu pun candu.

Detik ini, aku meregang rindu.

Bandung, 5 Juni 2016

#13 Ojo Kesusu

#13 Ojo Kesusu

Sebagai pembukaan, mari kita simak sebuah surat yang cukup menarik dibawah ini. Sesuai judul, ojo kesusu alias jangan  buru-buru.

TUTORIAL PERANG DI FB

Oleh: Anonim

2016 adalah tahunnya perselisihan. Bagi kaum melek teknologi (atau at least yang meletet dikit), media sosial jadi arena tempurnya. Seru deh. Semua punya kubu yang dijagokan, (hampir) semua punya argumen sendiri. Bagi yang tak punya argumen, Facebook punya senjata maut buat kita. Sebuah fitur maha dahsyat yang bernama “Share”. Fitur ini bak senapan yang kencangnya minta ampun buat melumpuhkan lawan. Siapa sih yang bisa berkutik kalau dihadapkan dengan fakta yang aktual, tajam, terpercaya?

Layaknya pemburu handal, cari peluru itu haruslah yang tokcer dan sesuai dengan target buruan. Targetmu korban pencitraan seorang politisi? Paling mantap ya di-dor pakai kompilasi kelakuan buruk sang politisi. Biar sembuh. Sedang berhadapan sama yang ngeyel soal toleransi? Asyiknya ya disikat pakai kombinasi logika – ayat suci – pendapat ahli agama. Biar sadar.

Ngomong-ngomong, tidak perlu berterimakasih kok kalau kamu sudah sembuh dan sadar. Niat kami tulus ingin membantu.

Situs-situs berita online jadi acuan buat mencari amunisi sehari-hari. Tapi harap maklum, kami orang sibuk, waktu luang kami tidak banyak. Suka tidak keburu kalau harus baca seluruh isi beritanya. Tapi saya yakin kok, semua kantor berita memegang teguh kode etik jurnalistik. Judul pasti sesuai dengan isinya. Isinya pasti hasil dari investigasi mendalam bermodal darah, keringat, dan air mata. Mana mungkin sih, berita palsu berani disebar? Ya tokh? Ya tokh? Waspada situs abal-abal, katamu? Apa itu? Kami tahunya bala-bala. Eh, tapi tahu kok bala-bala? Kan tempe. Intinya mah, asal beritanya sesuai dengan hati nurani saya, pasti sesuai dengan hati nurani kamu. Kalo enggak… ya kamunya aja bebal itu mah. Kzl.

Enaknya perang di dunia maya itu kami bisa jadi lebih percaya diri. Aslinya kan kami pemalu. Nulis panjang-panjang nggak akan ada yang protes. Share banyak-banyak nggak akan ada yang protes. Kalo ada yang protes, itu namanya menolak kebenaran. Serunya lagi, disini bisa hit and run gitu. Kayak lagi gerilya. Jangan salah, itu bukan tindakan pengecut. Itu namanya taktik. Makanya ya saya juga maklum kalau kamu pakai strategi itu. Namanya juga perang.

Sebelum saya mohon pamit, izinkan saya menyampaikan terimakasih kepada beberapa pihak.

Pertama, terima kasih kepada teman-teman seperjuangan yang mau repot-repot share artikel-artikel menarik lebih dulu, jadi saya tinggal reshare aja. Sudah saya baca kok thumbnail dan captionnya. Sangat informatif.

Kedua, terima kasih kepada teman-teman seperjuangan yang kreatif luar biasa yang sudah bantu bikin meme-meme (ini bacanya mim atau me-me sih?) cerdas. Mantap banget nih buat jadi senjata kalau ketemu lawan yang bebal, jadi nggak perlu nulis panjang-panjang. Sedikit saran, mbok ya resolusinya digedein gitu lain kali, ini gambarnya pecah melulu. Kasian nanti lawan debat saya nggak bisa baca.

Ketiga, terima kasih kepada pencipta FB. Tanpa kamu, mau dikemanakan waktu luang saya?

Keempat, terima kasih kepada rekan-rekan jurnalis di semua situs berita panutan saya. Jangan lupa makan dan istirahat yang cukup, ya. Kalian pasti capek karena harus melakukan investigasi terus-menerus, wawancara sana-sini, dan nulis artikel banyak-banyak.

Akhir kata, sampai kita berjumpa lagi. Di Facebook aja ya.

PS: Selanjutnya kami mau bikin tutorial menaklukkan Samyang Challenge.

Bukan hal ganjil lagi bagi kita untuk menemui oknum-oknum dengan perilaku bermedia sosial seperti diatas. Media sosial yang awalnya kita harapkan bisa jadi sarana untuk bercengkrama dengan orang terdekat, malah berubah jadi medan perang yang kian hari kian memanas. Semua hal bisa jadi perkara, dari yang sederhana seperti pilih #teamCap atau #teamIronman sampai isu-isu sensitif macam politik dan agama. Masih segar di ingatan kita bagaimana dahsyatnya perang argumen di dunia maya saat Pemilu 2014 lalu. Dunia maya seakan-akan terbagi dua, semua merasa capres idolanya adalah yang paling benar. Pertikaian malah terjadi di tingkat grass root. Bukannya beradu gagasan maupun rencana kedepan, malah sibuk mencari keburukan dari capres sebrang. Mirisnya, yang dulunya kawan bisa jadi lawan. Hanya karena gontok-gontokan di laman FB, silaturahmi malah jadi putus. Awalnya saling mengagungkan capres idaman, malah berakhir dengan menganjing-anjingkan teman yang tak sepaham. Padahal kedua capresnya malah adem ayem saja.

Kita adalah generasi pertama yang memasuki dan merasakan era keterbukaan informasi. Mulai dari anak kecil sampai yang sudah lanjut usia, semua bisa mendapatkan dan membagikan informasi dengan bermodal klik semata. Keran informasi bagai dibuka tanpa batas, aksesnya pun semakin mudah. Layaknya individu yang masuk ke dalam lingkungan baru, kita masih dalam tahap meraba-raba untuk mencari batas etika dari dunia maya. Bergerak di dunia yang seakan-akan sangat bebas ini kadang malah bisa melukai diri sendiri. Tubruk sana tubruk sini, sebagai implementasi kasar langkah trial and error. Saking serunya kadang kita malah kebablasan, terlebih dengan anggapan betapa mudahnya berganti identitas di dunia maya. Kedewasaan dalam berkomunikasi di media sosial pun tak kunjung terbentuk, bahkan untuk orang yang dibilang berusia dewasa di kehidupan nyatanya sekalipun.

Informasi bak pedang bermata dua. Ia bisa mencerdaskan, tapi juga bisa mencederai. Memasuki era keterbukaan seperti saat ini, jumlah informasi yang muncul makin tak terbendung. Pun tak semua bisa dipastikan kebenarannya. Informasi-informasi palsu menyelinap diantara kebenaran. Memanfaatkan celah diantara fakta yang terungkapnya sebagian-sebagian. Informasi seperti inilah yang malah menyesatkan kita, bilamana tak pandai-pandai memilah dan bersabar. Celakanya, dewasa ini informasi malah dimanfaatkan sebagai alat propaganda. Informasi mentah bisa dipoles sana-sini hingga terkesan nyata. Bak serigala berbulu domba, informasi tersebut disebar untuk menguatkan atau melemahkan sesuatu atau malah seseorang. Diperparah dengan mudahnya membuat informasi palsu, bermodal comot gambar sembarang dan keahlian mengarang bebas. Kode etik jurnalistik kian ditinggalkan, tatkala informasi jadi pesanan atau hanya mengejar traffic semata. Kita, sebagai tempat dimana semua informasi tersebut bermuaralah yang kemudian terombang-ambing penuh ketidakpastian. Padahal kita perlu referensi, untuk mengambil posisi dan perspektif tatkala memandang suatu isu. Wajarlah bila kita jadi meragu saat mendengar atau melihat sesuatu, takut itu hanya kabar palsu. Sesungguhnya kawan, bersyukurlah bila kita masih diberikan anugerah untuk merasakan ragu. Sebuah pertanda bahwa nalar dan nurani kita belum membatu dan masih punya kesempatan untuk bertemu dan memastikan kebenaran.

Dalam Islam dikenal konsep tabayyun, yang secara bahasa berarti mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya, alias klarifikasi. Perlu kebijaksanaan dalam menahan diri untuk tidak menyebarkan suatu informasi sebelum memastikan keabsahannya. Konsep inilah yang seharusnya dipegang teguh oleh pihak yang memang berperan sebagai portal informasi, maupun masyarakat luas sebagai penerima dari informasi tersebut. Proses klarifikasi bisa dilakukan secara aktif maupun pasif. Baik kita yang proaktif untuk memastikan kebenaran secara langsung ke TKP (jika memungkinkan) atau dengan membandingkan informasi suatu isu dari beberapa sumber yang berbeda. Kalau kedua hal tersebut tidak bisa kita lakukan, hendaknya bersabar menunggu semua fakta akan suatu isu terkuak. Jangan terburu-buru menyimpulkan sesuatu manakala informasi yang muncul baru seadanya. Ingat, OJO KESUSU.

Sayangnya, langkah klarifikasi itu makin ditinggalkan saat ini. Bisa jadi karena kita sudah keburu gatal ingin berkomentar atau memilih kubu saat berhadapan dengan suatu isu. Bisa juga karena energi kita sudah habis akibat terlalu kewalahan menerima derasnya arus informasi yang menerjang.

Informasi yang diterima akan membentuk perspektif kita dalam memandang suatu isu. Perspektif akan menentukan cara kita melakukan analisis sebab-akibat-solusi dari suatu isu. Perspektif jugalah yang akan membentuk sebuah standar penilaian, yang kemudian dipakai untuk melabeli diri sendiri dan orang lain. Yang menarik, suatu isu sebenarnya bisa dipandang secara multi-perspektif. Perbedaan perspektif akan menghasilkan analisis sebab-akibat-solusi yang berbeda dari isu tersebut. Perbedaan inilah yang kemudian dikolaborasikan untuk menghasilkan suatu pemahaman yang komprehensif nan ciamik. Namun terkadang kita lupa akan hal ini, karena keburu asyik melabeli orang yang tak satu perspektif dengan kita dengan berbagai macam titel berkonotasi negatif. Atau malah berusaha memaksakan perspektif kita kepada orang lain. Pokoknya kumaha aing weh.

Perspektif dasar dibentuk dari pengetahuan kita akan suatu isu. Informasi yang datang kemudian akan memperluas pemahaman kita, atau malah merubah penilaian kita terhadap suatu isu. Perubahan sendiri sebetulnya bukan hal yang buruk, selama memang ke arah yang lebih baik. Itulah mengapa kita harus memastikan bahwa semua informasi yang masuk kedalam otak kita sudah lengkap serta seluruhnya adalah sebuah kebenaran, baik itu fakta positif maupun sebaliknya. Barulah analisis bisa dilakukan, bukannya malah langsung lompat ke konklusi tanpa klarifikasi kelengkapan dan kebenaran masukan informasi terlebih dahulu. Salah kesimpulan bisa berabe. Bisa hancur dunia persilatan.

Akhir kata, mari kita tengok kasus Warteg Ibu Saeni yang ramai belakangan ini. Informasi muncul secara bertahap, dimana kesimpulan yang diambil tiap tahapnya terhadap kasus ini bisa berbeda. Perspektif yang digunakan pun akan memunculkan kesimpulan yang berbeda. Saya tidak akan membahas siapa yang benar, siapa yang salah, dan siapa yang harus bertanggung jawab dalam kasus ini. Saya hanya mengajak teman-teman untuk ber-tabayyun saat memproses seluruh informasi yang beredar saat ini. Mengingat sudah makin melebarnya pembahasan dari kasus ini, luar biasa simpang siurnya berita yang beredar, serta keterbatasan kita untuk dapat memastikan secara langsung kondisi sesungguhnya di TKP. Mari bersabar. Ojo kesusu.